Edukasi

Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Emansipasi Perempuan Indonesia: Jejak Panjang Pahlawan Nasional Wanita

×

Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Emansipasi Perempuan Indonesia: Jejak Panjang Pahlawan Nasional Wanita

Sebarkan artikel ini
Nyai Ahmad Dahlan/istimewa

PROGRES BENTENG– Sejumlah pahlawan nasional wanita Indonesia juga sering memainkan peran penting dalam emansipasi perempuan di Indonesia. Jasa-jasa mereka tidak bisa diabaikan begitu saja.

Nyai Ahmad Dahlan

Kota Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar, adalah tempat kelahiran banyak tokoh nasional yang jejaknya masih terasa hingga saat ini. Salah satu tokoh nasional dengan jasa dan peran panjang yang berasal dari kota Yogyakarta adalah Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan.

Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan lahir pada 3 Januari 1872 di kawasan Kauman, di belakang Masjid Gede Yogyakarta. Ia adalah putri Haji Muhammad Fadil, seorang ulama penghulu Keraton Yogyakarta, dan ibunya bernama Nyai Mas. Siti Walidah tumbuh dalam keluarga yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan spiritual Islam.

Pada masa itu, perempuan jarang menempuh pendidikan formal. Namun, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan tetap menerima pendidikan agama dari ayahnya.

Ia juga dididik tentang hakikat perempuan, baik dalam peran sebagai istri maupun ibu. Pendidikan ini menjadi landasan pemikiran dan aktivitasnya ketika ia terlibat dalam organisasi.

Nyai Dahlan meneruskan semangat dan gagasan Kiai Dahlan kepada generasi penerus, khususnya perempuan, melalui Sopo Tresno, awal dari berdirinya Aisyiyah. Aisyiyah, organisasi otonom untuk wanita Muhammadiyah, didirikan pada 19 Mei 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pemimpinnya.

Lima tahun kemudian, organisasi ini menjadi bagian resmi dari Muhammadiyah.

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta program keaksaraan dan pendidikan Islam bagi perempuan.

Ia juga aktif berkhotbah menentang praktik kawin paksa dan mengunjungi cabang-cabang Aisyiyah di seluruh Jawa.

Berbeda dengan tradisi patriarki masyarakat Jawa, Nyai Ahmad Dahlan meyakini bahwa wanita seharusnya menjadi mitra bagi suami mereka.

Sekolah Aisyiyah mencerminkan ideologi pendidikan Ahmad Dahlan, yaitu Catur Pusat: pendidikan di rumah, di sekolah, di masyarakat, dan di tempat-tempat ibadah.

Setelah Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan tetap aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada tahun 1926, ia menjadi pemimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi semacam itu.

Berkat liputan media yang luas, banyak perempuan terinspirasi untuk bergabung dengan Aisyiyah. Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang, namun Nyai Ahmad Dahlan tetap berjuang di sekolah-sekolah dan melindungi siswa dari tekanan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.

Selama Revolusi Nasional Indonesia, ia memasak untuk tentara dan mendukung dinas militer di antara mantan murid-muridnya. Ia juga terlibat dalam diskusi perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.

Nyai Ahmad Dahlan wafat pada 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Pada saat pemakamannya, Sekretaris Negara Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi, mewakili pemerintah menghormati kepergian pahlawan emansipasi tersebut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *