Edukasi

Pofil Nyi Ageng Serang: Perjalanan Perempuan Pejuang dalam Melawan Penjajah Belanda

×

Pofil Nyi Ageng Serang: Perjalanan Perempuan Pejuang dalam Melawan Penjajah Belanda

Sebarkan artikel ini
Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi /istimewa

PROGRES BENTENG- Wanita memiliki peran yang sangat penting dalam usaha untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya itu, beberapa pahlawan nasional wanita Indonesia juga sering berperan dalam upaya emansipasi perempuan di Indonesia. Jasa-jasa mereka tidak boleh dilupakan begitu saja.

Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang, yang sebenarnya bernama Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia asal Purwodadi.

Ia adalah pemimpin gerilyawan Jawa yang memimpin serangan terhadap penjajah Belanda. Nyi Ageng Serang adalah putri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah, yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkubuwono I.

Nyi Ageng adalah keturunan Sunan Kalijaga dan cucu dari pahlawan R.M. Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.

Karir militer Nyi Ageng dimulai sejak usia 16 tahun saat ia bergabung dengan Korps Nyai di Keraton Yogyakarta. Gelar Nyi Ageng diberikan padanya di tempat ini, sementara gelar Serang ia dapat setelah menikahi Pangeran Serang I. Ia dikenal sebagai wanita kuat, tangguh, dan cerdas.

Sejak kecil, Nyi Ageng Serang sudah gemar berlatih ilmu bela diri dan dihormati karena kecakapannya. Ia memiliki kesaktian tinggi yang didapatkannya ketika bersemedi di gua di sekitar pantai selatan Jawa. Banyak orang mendatanginya untuk berguru.

Ketika Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang bergabung dengan pasukannya, Semut Ireng, dan berperang bersama Pangeran Diponegoro. Mereka bergerak ke sektor Serang-Demak pada awal perang. Nyi Ageng dikenal sebagai taktikus dan pengatur strategi perang yang andal, dan Pangeran Diponegoro sering meminta bantuannya.

Pasukan Semut Ireng, yang terdiri dari 500 prajurit, selalu siap siaga. Mereka menggunakan panji merah-putih bernama Panji Gula Kelapa dan berhasil menghancurkan pos Belanda di Gambringan sebelum melanjutkan penyerangan ke Purwodadi.

Dalam merebut bagian timur Jawa Tengah, Nyi Ageng Serang memimpin pasukannya dengan melakukan penyamaran menggunakan daun limbu. Keahliannya dalam strategi perang membuatnya dihormati oleh Pangeran Diponegoro, dan ia akhirnya dipercaya sebagai penasihat umum dalam perang Jawa.

Setelah tiga tahun bertempur bersama Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang tidak mampu lagi melawan penjajah karena kekuatan fisiknya yang menurun.

Ia kemudian mundur dari medan perang, dan pasukannya diambil alih oleh cucunya, Raden Mas Pak-Pak, pada tahun 1828. Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada usia 76 dan dimakamkan di desa Beku, Kulonprogo, tempat ia pernah memimpin perlawanan terhadap Belanda. Nyi Ageng Serang diakui sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/1974.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *