Teknologi

TikTok Shop dan E-commerce Lokal Bakal Bermitra, Siap Beroperasi Kembali di Indonesia?

×

TikTok Shop dan E-commerce Lokal Bakal Bermitra, Siap Beroperasi Kembali di Indonesia?

Sebarkan artikel ini
ilustrasi Tiktok shop/istimewa

PROGRES BENTENG– Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, telah menerima informasi bahwa TikTok berencana bermitra dengan e-commerce dalam negeri untuk beroperasi kembali di Indonesia.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah kolaborasi TikTok dengan GOTO, sesuai laporan dari Bloomberg.

“[Kalau TikTok masuk e-commerce besar indonesia?] Itu sih tidak masalah, karena misalnya apakah Tokopedia atau Bukalapak, saya tidak tahu yang mana. Karena dua-duanya sudah IPO, mereka kan membeli saham di pasar modal, jadi pemerintah tidak perlu ikut campur di sini karena itu perusahaan publik,” katanya dikutip dari CNBC Indonesia, Selasa (28/11/2023)

Teten melanjutkan bahwa pihaknya baru saja bertemu dengan perwakilan dari Tokopedia, dan dia menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin terjadi lagi praktik penetapan harga yang merugikan UMKM karena hal itu dapat menghantam sektor UMKM.

Platform digital dari luar seperti TikTok juga diharapkan menghormati pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah juga berkeinginan agar ekonomi digital menerapkan model bisnis yang berkelanjutan.

“Kalau kita biarkan burning money, ini bukan model bisnis yang sustain, yang berkelanjutan. Oleh karena itu harus diatur. Yang perlu diatur adalah larangan melakukan predatory pricing, larangan penjualan barang di e-commerce yang dibawah HPP,” ujar Teten.

Dia mencatat bahwa langkah yang diambil oleh China sejalan dengan hal ini. Jika uang dibakar secara langsung di e-commerce, itu dapat merugikan e-commerce itu sendiri dan berpotensi menimbulkan monopoli pasar digital oleh satu platform yang memiliki kekuatan besar. Namun, di sisi lain, hal itu juga bisa merugikan para pedagang offline.

“Kita harus meniru china, di china sudah ada pengaturan bahwa platform digital di e-commerce enggak boleh ada yang memonopoli market. 20-30 persen itu satu hal yang wajar, tapi kalau ada yang menguasai 70-80 persen market, itu bisnis yang tidak sustain,” ujarnya.

“Kalau misalnya kita lihat, persaingan bisnis di e-commerce dalam memperebutkan atau memperluas market share valuasi bisnis mereka, itu kan mereka bakar uang, ongkos kirim gratis, lalu produknya dijual semurah mungkin bahkan predatory pricing. Bahkan di platform global ada produknya dari luar udah di-dumping, lalu di dalam negeri disubsidi lagi oleh platform,” tambahnya seperti dilansir dari CNBC indonesia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *